Kamis, 27 Desember 2018

Banjir Merendam Sekolah-sekolah di Jakarta



Setiap tahun wilayah Jakarta selalu langganan permasalahan yang tiada henti-hentinya. Permasalahan yang satu ini sulit menemui titik keluar karena juga berasal dari alam, yaitu banjir yang disebabkan hujan lebat ketika musim hujan tiba. Sepertinya warga Jakarta sudah memaklumi akan hal ini. Banyak akibat yang ditimbulkan dari bencana banjir, mulai dari berbagai macam penyakit, keadaan sosial, ekonomi, dan yang terakhir fasilitas. Salah satu yang ingin saya angkat disini adalah dari segi fasilitas yaitu banyaknya sekolah-sekolah yang terendam akibat bencana banjir, dan bagaimana sih cara kita menanggapi dan memberi solusi nya?
Menurut sebagian orang, pendidikan adalah hal wajib yang harus dipelajari setiap manusia. Karena pendidikan yang mengajarkan ilmu kepada diri sendiri dan juga orang lain serta moral yang terutama. Sekolah adalah salah satu jalan menuju pendidikan yang layak di dapatkan. Apabila ketika bencana banjir merendam sekolah-sekolah, bayangkan berapa banyak fasilitas sekolah yang rusak. Lalu murid-murid sekolah pun tidak bisa belajar di kelas selama beberapa waktu. Setelahnya, siapa yang akan bertanggung jawab akan hal ini?
Bencana banjir tidak saja hanya pemerintah yang melulu disalahkan. Tetapi juga dari kesadaran diri kita sendiri, dengan tidak membuang sampah sembarangan terutama ke bantaran kali atau selokan, tidak membangun bangunan di tempat yang dilarang, dan tetap menjaga kebersihan lingkungan. Namun, pemerintah juga harus menyiapkan solusi lain untuk mengatasi masalah ini supaya ke depan nya Jakarta bebas dari kata banjir setiap tahunnya.

DIAGRAM FLOWCHART



Tahapan Penerbitan
Adapun tahap-tahap penerbitan, yaitu:
1. Survey / pengumpulan naskah
Naskah tulisan dikumpul dari dokumentasi penulis ataupun penerbit.
2. Pengetikan Naskah
Naskah yang telah dikumpul diketik untuk mempermudah proses editing dan layout.
3. Editing I, II dan III
Naskah yang selesai diketik kemudian diedit untuk memperbaiki kesalahan pengetikan, memperbaiki tata bahasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan style pengetikan dan desain.
4. Desain Cover & Lay Out
Naskah yang selesai diedit didesain baik cover dan isinya dalam bentuk buku kemudian dicetak dalam bentuk draf buku.
5. Pengurusan ISBN
Setelah draf awal tersebut selesai, kemudian penerbit mengurus  kelayakan buku tersebut hingga dikeluarkannya ISBN.
6. Proses Cetak
Draf buku yang sudah siap, akan dicetak oleh  Medika Publishing.
7. Distribusi dan Launching
Buku yang telah jadi akan didistribusikan sesuai dengan kesepakatan penulis-penerbit dan atau melakukan kegiatan launching sesuai kesepakatan bersama.
Mekanisme Kerja
  1. Lobby  (negosiasi)
  2. Kontrak Penerbitan
  3. Pembayaran Panjar (DP)
  4. Proses Kerja
  5. Proses Final
  6. Pembayaran Sisa DP
  7. Penyerahan hasil
  8. Kontrak Distribusi
  9. Launching / Bedah Buku
  10. Promosi
Anggaran Penerbitan
Adapun anggaran penerbitan digunakan untuk kebutuhan sebagai berikut:
  1. Anggaran Operasional Penerbitan
  2. Institusional Fee untuk penerbit
  3. Profesional Fee Tim Editor / Penyusun
Tahap Pembayaran
  1. Tahap I (Panjar 10%) pada saat Kontrak Penerbitan.
  2. Tahap II (20%) pada saat draf buku (pertama) selesai.
  3. Tahap III (40% pada saat draf buku siap Cetak.
  4. Tahap IV (30%) pada saat buku hasil cetakan diterima oleh yang bersangkutan.

Minggu, 09 Desember 2018

Borok Sikutan



            Memang di masyarakat kita sekarang ini masih memegang teguh tentang sesuatu yang di sampaikan secara turun-menurun. Menurutnya itu merupakan tradisi atau budaya yang harus di lestarikan. Ada juga yang berpendapat kalau hal tersebut merupakan kata leluhur yang kaya akan makna dan kebenaran di karenakan para leluhur lebih banyak mengalami pengalaman hidup. Tetapi hal ini menjadi salah satu kearifan lokal menarik yang dimiliki negara kita. Salah satu yang ingin saya bahas adalah istilah Borok Sikutan.

            Borok sikutan merupakan istilah yang diberikan orangtua pada zaman dahulu untuk mengingatkan apabila kita telah memberikan sesuatu, tidak boleh kita ambil atau minta kembali. Namun menurut pandangan saya dan bukan pandangan kebudayaan, hal tersebut dilarang karena meminta kembali sesuatu yang telah kita berikan kepada orang lain sama saja bermakna tidak ikhlas dalam memberi, dan hal itu tentu saja tidak sopan untuk di lakukan terus menerus. Jadi, supaya masyarakat tidak kebiasaan di buatlah mitos ini. Dan ada yang berpendapat pula istilah borok sikutan disebabkan si pemberi bertengkar dengan yang dikasi , lalu  jatuh., sikut luka, jadi borok deh.

            Meskipun banyak pendapat dan pandangan, tetapi kita harus mengharagi dan melestarikan mitos atau istilah kearifan lokal ini. Dibalik mitos yang menurut kita tidak ada manfaatnya atau hanya sekedar omongan turun temurun belaka, pasti ada makna tersendiri nya. Tinggal kita nya lah yang memaknai dan menafsirkannya menurut pikiran dan pandangan kita. Semoga kearifan lokal tetap lestari.